DISCIPULUS
Monday, September 11, 2017
Monday, September 4, 2017
Monday, December 22, 2014
TIGA TOKOH PEMBAHARU ISLAM DI INDONESIA
BAB I
Pendahuluan
I.1.
Latar Belakang Masalah
Pada mulanya gerakan pembaharuan
yang dilakukan “muslim modernis timbul akibat pengaruh gerakan kebangkitan
Islam Ibnu
Taimiyah (1263-1328) yang menyebut gerakannya dengan nama “Muhyi Ats-tsarissalaf” membangkitkan kembali
ajaran-ajaran lama. Yang dimaksud ajaran lama disini adalah ajaran para sahabat
rasul dan tabiin; serta ajaran Ibnu Hambal yang senantiasa mempraktikan ijtihad
dan sangat anti kemusyrikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia
pada awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya organisasi kelompok modernis
Islam, di antaranya, Muhamadiyyah yang didirikan oleh K.H Ahmad
Dahlan, NU yang didirikan oleh K.H HAsyim Asy’ari dan Persis yang didirikan
oleh Ahmad Hassan.
Para
pembaharu Islam tersebut telah berhasil menyebarkan ilmunya ke setiap penjuru
nusantara. Mereka menyebarkannya dengan cara yang berbeda-beda. Dengan
metode-metode yang mampu diterima oleh masyrakat pada masa itu. Meskipun metode
yang digunakan hampir sama, namun mereka mempunyai kekhasan tersendiri.
Untuk
itu kelompok kami ingin memaparkan metode dan media yang mampu membuat dakwah
mereka tetap bertahan hingga saat ini.
I.2. Rumusan Masalah
1.
Siapakah KH.
Hasyim Asy’ari?
2.
Bagaimana
dan apa metode dan media dakwah yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari?
3.
Siapakah KH.
Ahmad Dahlan?
4.
Bagaimana
dan apa metode dan media dakwah yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan?
5.
Siapakah
Ahmad Hassan?
6.
Bagaimana
dan apa metode dan media dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Hassan?
I.3. Tujuan
Makalah
1.
Untuk
mengetahui sosok Hasyim Asy’ari
2.
Untuk
mengetahui metode dan media dakwah yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari
3.
Untuk
mengetahui sosok KH. Ahmad dahlan
4.
Untuk
mengetahui metode dan media dakwah yang dilakukan oleh KH. Ahmad dahlan
5.
Untuk mengetahui
sosok Ahmad Hassan
6.
Untuk
mengetahui metode dan media dakwah yang dilakukan oleh
BAB
II
Pembahasan
(Tiga tokoh
pembaharu Islam di Indonesia)
·
Biografi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim,
lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan
wafat di Jombang pada Juli 1947. KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai,
karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren
Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok
pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren
Keras di Jombang. Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah,
Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan
Pajang, raja Pajang[1].
Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada
Hasyim.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim
Asy’ari lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan padausia 13
tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dandiangkat menjadi badal (asisten
pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai
mengembara keberbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti
di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan,
Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura.
Pada
1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan
berguru kepada Syekh Mahfudh At-Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur.
Syekh Mahfudh At-Tarmisi menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama
ahli hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menjadi
murid Syekh Ahmad Khatib SyamBasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan
tarikat Qadariah dan tarikat Naqsabandiah).
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama,
KH.Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabau.
Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikiran
KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia
memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di
Mekah, KH.Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu
Ireng di Jombang pada26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah
KH.Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh
kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren inipula kemudian
banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di
Indonesia.
·
Metode dan media Dakwah Hasyim Asy’ari
Pendidikan
Setelah
mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. HasyimAsy’ari mewarnai lembaga
pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi
pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif,
tradisibelajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya
telahmengantarkan umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalamkaryanya, Adab al-‘Alim
wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh
tradisi pendidikan Islam klasik danpenulis-penulis klasik seperti Imam
al-Ghazali dan Al-Zarnuji. Namun hingga sekarang pesantren dan NU adalah pilar
tegaknyaIslam tradsional, serta menjadi basis gerakan NU sejak masaperjuangan
melawan penjajah hingga zaman sekarang. Sampai saatini lembaga pendidikan
pesantren masih tetap eksis dan survivedengan segala kemajuan
pembaharuan, seperti pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Institut Agama
Islam Ibrahimy, PondokPesantren Nurul Jadid, Institut Keislaman Hasyim Asy’ari,
Pondok Pesantren Darul Ulum, Akper, dll.
Kurikulum pendidikan di pesantren KH. Hasyim Asy’ari yang
memiliki muatan dakwah :
Ø Pengajian kitab kuning
Dalam
pengajian kitab kuning ini kitab yang dikaji adalah meliputi ; al- Ihya’
al-Ulumuddin karya Imam Ghozali, Mukhtar al-Hadits karya Sayyid Ahmad
al-Hasyim, Tafsir Yaasin karya Syaikh Hamami Zadah, Ta’lim al- Muta’alim karya
al-Zarnuji, dan Risalah al-Mu’awwanah karya Syarif Abdullah bin Alwi bin Ahmad
al-Husaini dan lain-lain. Semua kitab tersebut dikaji secara bergantian setelah
masing-masing kitab itu selesai dipelajari (khatam), sedangkan jenis kitab yang
dikaji pada kepengurusan periode 2009-2010 adalah kitab at-Tadzhib, kitab
Tarikh tasyri’ dan kitab Adab al-‘alim, Mukhtar al-Ahadits dan Tafsir jalalain.
Ø Kajian ilmiah
Kajian
ilmiah adalah kajian yang dilaksanakan dengan tujuan untuk membangun nalar
kritis santri, khususnya terhadap isu-isu kemasyarakatan yang aktual seperti
modernisme, postmodernisme dan wacana-wacana lainya. Kajian
ilmiah ini dipandu oleh seorang ustadz sebagai moderator guna memimpin sebuah
season diskusi. Dengan diskusi yang mengkaji permasalahan-permasalahan yang
terjadi di masyarakat ini diharapkan para santri punya wawasan luas serta
mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pendapat serta responsif pemikiranya
terhadap isu-isu kemasyarakatan. Diskusi ini dilaksanakan pada hari Jum'at
malam.
Ø Kajian sastra dan budaya
Kajian
sastra budaya adalah suatu kegiatan yang berbentuk diskusi santai yang mengkaji
berbagai keilmuan sastra, seni budaya. Dalam kajian ini terkadang didikuti
dengan apresiasi karya sastra, karena di dalamnya mencakup apreseasi berbagai
karya sastra, seni dan budaya seperti cerpen, puisi, novel, seni musik, seni
lukis, seni kaligrafi, teater ataupun karya seni lainya. Kegiatan ini bertujuan
menguatkan dan memunculkan tradisi karya pesantren yang masih cenderung
terpendam. Selain itu kegiatan ini berfungsi sebagai media untuk mengapresiasi
berbagai karya seni dari para santri. Dalam forum ini juga bertujuan memancing
kepekaan imajinasi dan sensifitas rasa dalam menanggapi berbagai fenomena yang
muncul. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Sabtu.
Ø Pendidikan Ketrampilan Tulis-menulis
Pendidikan
ketrampilan tulis menulis dilaksanakan dalam wadah sebuah kegiatan pelatihan
kepenulisan yaitu pelatihan yang dilaksanakan untuk mengembangkan potensi para
santri di bidang kepenulisan. Dalam kegiatan pelatihan
kepenulisan ini ditempuh melalui dua cara, yaitu : pertama, adalah melalui
pendekatan kultural, yaitu pembentukan "iklim kepenulisan" dalam
kehidupan pesantren, menghidupkan budayamembaca dalam aktivitas sehari-hari dan
model pembimbingan bagi para santri dengan cara mendelegasikan santri senior
untuk membimbing santri baru dalam pembelajaran tulis-menulis. Kedua, adalah kegiatan
kajian ketrampilan tulis-menulis baik tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk
buku maupun tulisan jurnalistik yang dipublikasikanmelalui media massa maupun
media lainya.
Kegiatan
kajian ketrampilan tulis-menulis adalah sub kurikulum yang dispesifikasikan
pada pembinaan kompetensi di bidang tulis-menulis. Kegiatan ini bertujuan
melatih dan mempertajam daya analisis santri dalam kepenulisan di media massa.
Kegiatan
pengembangan bahasa adalah kegiatan yang bertujuan untuk membekali santri dalam
kompetensi kebahasaan. Dalamkegiatan ini bahasa yang dikaji adalah bahasa Arab
dan bahasa Inggris.
Ø Seni Musik
Kegiatan
seni musik ini dimaksudkan untuk melestarikan kesenian pesantren. Pada mulanya
alat musik yang digunakan adalah rebana seperti halnya yang ada di sejumlah
pesantren. Seperti di pesantren lain kesenian rebana (hadrah) ini dilakukan
guna mengiringi pembacaan sholawat maupun kitab al-Barzanji serta menyanyikan
nyanyian-nyanyian Arab khas pesantren. Namun akhirnya lambat laun mengalami
perkembangan. Alat musik yang dipakai bukan hanya rebana tetapi
juga berbagai alat musik modern seperti gitar dan biola. Kemudian penggunaan
alat musik bukan hanya untuk mengiringi pembacaan sholawat ataupun kitab al-Barzanji, tetapi juga
digunakan sebagai pengiring dalam kegiatan sastra seperti pembacaan puisi.
Ø Ziarah kubur
Kegiatan
ini merupakan wahana mengasaah kepekaan spiritualitas para santri. Kegiatan
ziarah ini dilaksanakan secara rutin di sejumlah makam para ulama di Yogyakarta.
·
Biografi KH.
Ahmad Dahlan
KH. Ahmad DahlanKyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta 1 Agustus
1868. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad
Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua
belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo,
yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya
tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai
Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan).
Ayahnya seorang ulama bernama K.H.
Abu Bakar bin K.H. Sulaiman yakni seorang pejabat khatib di masjid besar kesultanan
Yogyakarta. Ibunya adalah puteri dari H. Ibrahim bin K.H. Hasan, seorang pejabat penghulu kesultanan. Dilihat
dari garis keturunannya ini maka ia adalah anak orang yang berada dan
berkedudukan baik dalam masyarakat.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan
tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903,
ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah
dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia
pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada
tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak
tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk
memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi
anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar
Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh
organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari
nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya
meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti
Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah
pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha
memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
·
Metode dan media dakwah KH. Ahmad Dahlan
Metode
pemahaman dan pengamalan Islam Ahmad Dahlan adalah
rasional-fungsional. Rasional dalam pengertian
menelaah sumber utama ajaran Islam dengan kebebasan ajaran akal dan kejernihan
hati nurani, sekaligus membiarkan al Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri,
dalam artitafsir ayat dengan ayat atau hadist sohih. Fungsional, dalam
pengertian kelanjutan dan tuntutan hasil pemahaman tersebut adalah aksi sosial,
yaitu melakukan perbaikan masyarakat. Metode inilah yang khas dari ahmad dahlan:
pemahaman sekaligus pengamalan, pemikiran sekaligus aksi sosial[2].
Beberapa metode dakwah KH. Ahmad dahlan, diantaranya:
Dakwah Melalui Organisasi Muhammadiyah[3]
Dalam melaksanakan misi dakwahnya,
Kiai Haji Ahmad Dahlan membentuk sebuah organisasi yang bertujuan untuk melatih
kaderkadernya agar mengerti bagaimana membentuk sebuah organisasi yang berlandaskan
Islam. Dalam hal ini, beliau mengambil dalil dari ayat Al Qur'an surat Ali Imran
ayat 104, yakni:
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.”
(Q.s. Ali Imran [3]: 104)
Nilai
Kesenian sebagai Metode Dakwah
Ada ungkapan bahwa hidup dengan seni
akan menjadi indah. Seni
dalam
konteks dakwah sama dengan film sebagai media dakwah. Dalam film SP, Dahlan
tampak memainkan biola dengan piawai.Suatu ketika, suara biola terdengar dari
kejauhan dengan lagu Ilir Ilir.
Berikut lirik lagunya:
Lir-ilir, lir ilir,
tandure wis semilir,
tak ijo royo-royo
tak senggo temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno
Kanggo mbasoh dodotiro
Dodotiro-dodotiro,
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
mumpung
jembar kalangane
yo
surako... surak hiyo...
(Bangun,
bangunlah (dari tidur)
pohon
sudah mulai bersemi
demikian
menghijau
bagaikan
gairah pengantin baru
anak pengembala,
anak pengembala
panjatlah
pohon belimbing itu
walau
susah tetap panjatlah
berguna
untuk mencuci pakaianmu
Pakaian-pakaian
yang buruk
disisihkan
dan jahitlah
benahilah
untuk
menghadap
nanti sore,
mumpung
terang rembulannya
mumpung
banyak waktu luang
mari
bersorak-sorak hayo...)
Dahlan dalam berbagai kesempatan
menjadikan biola sebagaisalah satu alat dakwah. Dalam satu kesempatan, ia
memainkan biolanya di langgar (musala), lalu datanglah beberapa pemuda yang ingin
belajar agama. Setelah tiga santri masuk langgar
danmengutarakan niat untuk belajar, Dahlan menyatakan bahwa belajarbersamanya
bersifat terbuka dan interaktif, tidak harus monoton
(one way). Ia
meminta agar salah seorang dari mereka mengajukanpertanyaan. Bertanyalah salah
seorang, “Apakah agama itu, Kiai?”Menariknya, pertanyaan tersebut tidak
langsung dijawab denganlisan (oral), melainkan dengan gesekan biola yang
dimainkan Dahlan.Beberapa saat kemudian Dahlan berkata kepada salah satu
darimereka, apa yang dirasakan setelah mendengar suara biola. Salah
satu dari
mereka menjawab, “Semua masalah hilang.” Yang lainmenjawab, “Tenang dan
tenteram.” Sangidu mengatakan, “Kayak mimpi.”
“Itulah
agama, ia menawarkan keindahan, ketenangan, ketenteraman, kedamaian, seperti musik yang
menyelimuti danmengayomi,” sahut Dahlan. Sebaliknya, ketika biola dimainkan
salahseorang santri yang karena belum piawai, menjadi tak beraturannadanya.
Demikian pula agama, jika tidak dipahami dengan baik, dapat meresahkan
masyarakat.
Pendidikan[4]
Pada tahun 1909 K.H Ahmad Dahlan masuk Boedi Utomo
dengan maksud memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para
anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat memberikan
pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Karena, pada waktu itu umumnya
anggota-anggota Boedi Utomo bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh
pemerintah dan juga kantor-kantor pemerintah, beliaupun memeberikan harapan
agar guru-guru sekolah yang diajarkannya itu dapat meneruskan isi pelajarannya
kepada murid-muridnya pula.
Pengajaran yang beliau berikan masih
bersifat ekstra kulikuler atau diluar jam resmi pelajaran yaitu yang
dilaksanakan pada hari sabtu atau minggu di umahnya sendiri di Kauman seperti Kweekschool
(sekolah guru) di jetis setiap hari sabtu dan minngu, serta mengajar siswa
OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenareen/ Sekolah Pramong Praja
Pribumu) di Magelang.
·
Biografi
Ahmad Hassan
Nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin
Ahmad. Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di
Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) didepannya, maka Hassan bin
Ahmad lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan-untuk selanjutnya disebut
dengan A.Hassan.
Ahmad
Hasan dilahirkan di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, ayah berasal
dari India dan ibu Indonesia. Ayahnya, adalah
seorang penulis, ahli kesusastraan Tamil, dan juga ahli tentang Islam. Dalam
bidangnya, ayahnya dapat dipandang relatif produktif. Selain pernah menjadi
redaktur Nur-al-Islam, majalah agama dan sastra Tamil, ayahnya telah menulis
sejumlah buku dalam bahasa Tamil, dan berhasil menerjemahkan beberapa buah buku
dari bahasa Arab. Adapun ibunyaberasal dari keluarga yang sederhana di Surabaya,
namun terkenal sangat taat beragama.
Dalam
bidang pendidikan formal, sesungguhnya, Hassan tidak sempat
menamatkan sekolahnya untuk tingkat dasar sekalipun.
Pada usia yang terlalu dini, Hassan telah mulai aktif bekerja. Sungguhpun
demikian, untuk tetap menjaga kelangsungan belajarnya, ia mengambil pelajaran
privat, terutama dalam pelajaran agama dan bahasa Arab. Langkah ini diambilnya,
agar kelak ia dapat memperluas pengetahuan agamanya dengan cara
selfstudi.
Sejak
usianya yang ke-23, 1910 sampai dengan 1921, berbagai jenis pekerjaan telah
dicobanya, mulai dari seorang guru, pedagang tekstil, jurutulis di kantor
urusan haji, sampai anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Dari berbagai jenis
pekerjaan yang sempat dilakukannya itu, agaknya,berwiraswasta dalam bidang
pertekstilan lebih menarik bagi dirinya. Hal initerbukti, ketika pada 1921
Hassan pindah ke Surabaya dengan maksud mengambil alih pimpinan sebuah toko
tekstil milik pamannya, Haji Abdul Latif. Masa itu di Surabaya sedang
berkembang pertentangan paham antarakelompok yang lebih bersemangat modernis
dengan kelompok yangcenderung tradisionalis, khususnya dalam
persoalan-persoalan fikih.
Haji
Abdul Latif sendiri, pamannya, termasuk kelompok tradisionalis. Oleh karenanya,
dapat dipahami mengapa pamannya tidak menyukai pikiran pikiran yang
berorientasi Wahabiyah. Bahkan, pamannya cenderung menghalangi Hassan untuk
banyak berhubungan dengan mereka, baik yang bersemangat pikiran modernis maupun
yang cenderung kepada pikiranpikiran
Wahabiyah. Hassan tidak begitu saja dapat menerima
pandangan pamannya. Sesungguhnya pertentangan paham antara kalangan yang kuat memegang tradisi
dengan kelompok yang bersemangat modernis telah mulai dikenalnya sejak ia masih
di Singapura.
Beliau
berpulang ke rahmatullah pada
tanggal 10 November 1958 dalam usia 71 tahun. Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat kepadanya[5].
·
Metode dan Media
Dakwah Ahmad Hassan
Sebagai sosok ulama pejuang penegak Alquran dan sunah,
Ahmad Hassan memiliki integritas dan pandangan yang kukuh terhadap hukum-hukum
yang diyakininya berdasarkan Alquran dan sunah. Ulama besar yang dikenal dengan
Ahmad Hassan Bandung (ketika masih bermukim di Bandung) atau Ahmad Hassan Bangil
(sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dalam gerakan pemurnian
ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian, dan kegigihannya
menegakkan Alquran dan sunah secara konsekuen[6].
Berikut
metode dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Hassan:
Debat
(mujadalah)
Debat
(mujadalah) adalah metode dakwah dengan cara adu argumen. Debat yang dimaksud
disini adalah debat yang baik, adu argumen dan tidak tegang (ngotot) serta
tidak sampai terjadi pertengkaran. Dan debat pada dasarnya mencari kemenangan,
dalam arti menunjukkan kebenaran dan kehebatan Islam.
Dalam hal ini beliau mempertahankan pendapatnya dengan
menggunakan jalan debat secara terbuka dan tertutup. Terbuka ia lakukan
manakala persoalannya sudah menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya dalam
menggulirkan gagasan negara Islam. Ia mengajak debat terbuka dengan Soekarno.
Dalam pandangannya bahwa debat merupakan bentuk tukar pikiran dan pembahasan
mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat
masing- masing. Bagi Ahmad Hassan, debat bisa menghasilkan sebuah kesepakatan bila
tidak bermuatan kepentingan pribadi melainkan kembali kepada dasar al-Qur'an dan hadis. Tertutup, apabila masalahnya
hanya bersifat pribadiyang tidak ada
sangkut pautnya dengan kepentingan orang banyak.
Polemis
Metode ini dimanfaatkan olehnya
dalam perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di
media massa. Hal ini kemudian ia tuangkan secara sistematis dalam buku yang
berjudul: Islam dan Kebangsaan.
Sic et non. (tanya
jawab/ dialog)
Metode
ini adalah penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong obyek dakwah untuk
menyatakan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti dan da’i-nya sebagai
penjawabnya.
Metode ini bersifat dialogis. Ia gunakan dalam bentuk
dialog atau tanya jawab, dan lazimnya ia gunakan ketika membahas masalah masail
fiqhiyyah. Metode ini misalnya ia wujudkan dalam bentuk buku-bukunya antara
lain: Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: CV.Diponegoro,
2003; At-Tauhid, Bandung: CV.Diponegoro,1987
Pendidikan.
Konsep
pendidikan A. Hassan bertujuan untuk mengeluarkan para mubaliġ-mubaliġyang memiliki kemampuan belajar
bahasa Arab, ilmu agama Islam dan ilmu umum seperti ilmu berhitung, geografi
dan ilmu keduniaan yang menjadi bekal bagi para lulusan pesantren dalam
mengembangkan pekerjaannya sebagai mubaliġ. Ini sesuai dengan tujuan pendidikan
agama Islām dalam al-Qur’an yakni manusia diciptakan tiada lain untuk beribadah
Allah. Dan tujuan Persis mencetak kader yang akan mengajarkan masyarakat
mengenai agama Islām dengan prinsip-prinsip al-Qur’ān dan Sunaħ agar menjadi
khalifah yang selalu taat beribadah kepada Allah.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, A. Hassan mendirikan lembaga pendidikan Islām yang
berbentuk pesantren dan diberi nama “Pesanteren Persatoean Islam Bandoeng” atau
“Pesantren Besar” pada tahun 1963. Setelah berpindah ke Bangil ia mendirikan
Pesantren Persatuan Islām Bangil di atas tanah pribadinya sendiri. Dan sampai
saat ini, Pesantren Persatuan Islam Bandung menjadi ciri khas pesantren Persis
di seluruh Indonesia. Bentuk-bentuk kelembagaannya bertingkat, dimulai dari
tingkat dasar seperti Rauḍatul Aṭfal, Haḍanatu Aṭfal dan ibtidaiyaħ, tingkat
menengah seperti Tsanawiyaħ dan tingkat tinggi seperti Mu’alimīn (sekolah guru)
dan Perguruan tinggi seperti STAIP danSTKIP Persis[7].
Dengan
melihat tulisan-tulisan Ahmad Hassan, akan bisa menangkap apa yang sesungguhnya
ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad Hassan dalam buku Islam dan
Kebangsaan menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan
sungguh-sungguh dan semurni murninya, baik dalam tingkat individu,
keluarga/masyarakat/dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman
yang benar menurut nas-nas Al-Qur'an dan Sunnah, serta pengingkaran semua hal
yang berbau bid'ah dan khurafat. Untuk mencapai itu umat Islam harus melakukan
ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba, dan menjauhi taklid, suatu
penyakityang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kerangka berpikir di atas oleh A.
Hassan disebut "mengikuti jejak salaf", jajaran generasi-yang
terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi Muhammad saw[8].
BAB III
Kesimpulan
Dakwah
yang dilakukan para pembaharu Islam Indonesia -yang pada pembahasan ini hanya 3
tokoh- yakni KH. Hasyim Asy’ari, Kh. Ahmad Dahlan dan Ahmad Hassan kita telah
terasa manfaatnya bagi ummat islam hingga saat ini. Dakwah mereka tidak terpaku
kepada satu metode saja. Tidak melulu mereka berdakwah dengan mengisi-mengisi
ceramah di majlis-majlis ta’lim. Mereka menerbangkan sayap dakwahnya pada ranah
pendidikan, mujadalah, kesenian dan sebagainya.
Mereka
memiliki kekhasannya tersendiri dalam menyebarkan dakwahnya. Namun cara yang
mereka tempuh telah berhasil membuat Islam di negara Indonesia keluar dari jalan
yang gelap-gulita kepada jalan yang terang-benderang.
DAFTAR ISI
Wildan, dadan. Yang
Da’i yang Politikus. 1997.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya
-kyai-haji-hasyim-asyari-pendiri-Nu.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/7495/5/bab%204.pdf
https://www.google.com/search?q=metode+dakwah+ahmad+dahlan+pdf&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a&channel=fflb
http://insansalsabila.wordpress.com/2010/04/01/front-pembela-islam-cs-kekerasan-analisis-pendekatan-psikologi-agama-zakiah-daradjat/
http://eprints.walisongo.ac.id/422/4/Murtadlo_Tesis_Bab3.pdf
[1] -kyai-haji-hasyim-asyari-pendiri-Nu.pdf
[2]
http://digilib.uinsby.ac.id/7495/5/bab%204.pdf
[3]
http://digilib.uinsby.ac.id/7495/5/bab%204.pdf
[4] digital_124515_RB04P33p_Perkembangan
Perguruan- Literatur.pdf
[5] http://www.voa-islam.com/read/upclose/2010/03/16/3920/a-hassan-ulama-nasional-yang-serba-bisa-mandiri-tegas-dan-gigih-berdakwah/
[7] http://repository.upi.edu/2542/8/S_IPAI_0900792_Chapter5.pdf
Subscribe to:
Posts (Atom)